Rabu, 30 Juli 2014

Mengenang 7 tahun kompilasi Mesin Waktu: Teman-Teman Menyanyikan Lagu Naif


Cover Album Mesin Waktu: Teman-Teman Menyanyikan Lagu Naif



Saya pertama membeli kompilasi ini di tahun 2007, ketika masih duduk di bangku sekolah menengah. Dengan uang saku seadanya, saya membeli kompilasi super berharga ini dalam format kaset. Saat itu, kasetnya sendiri berharga Rp 20.000, sebuah harga yang relevan untuk anak SMP macam saya. Apalagi, saya juga hanya memiliki tape sebagai media player pemutar, cocoklah.

Tak kurang 14 lagu dimainkan oleh artis-artis sidesterm. Ada beberapa rekan seangkatan Naif dalam industri musik seperti Fable dan Cherry Bombshell. Rekan-rekan musisi dari almamater Naif, Institiut Kesenian Jakarta seperti the Adams, Karon n Roll, White Shoes dan Goodnight Electric. Selain itu, ada beberapa nama lain yang cukup fenomenal di ranah underground lokal seperti Superglad, Sore, Tika, Icarie, Brandals, Media Distorsi, Monophones, serta band asal negeri Upin-Ipin, Couple.

Adanya kompilasi ini jelas memberikan stigma bahwa Naif sudah di cap sebagai legenda musik Indonesia. Bahkan Slank, Dewa, bahkan Gigi hingga kini belum mendapatkan tribute atas apa yang mereka persembahkan 20 tahun belakangan ini. Inilah yang membuat Naif spesial dari beberapa nama yang saya sebutkan diatas. Karya yang dihasilkan David, Pepeng, Emil, Jarwo dan Chandra (dimanapun ia berada sekarang)  memang tak pernah bosan untuk di dengarkan dalam era apapun, oleh siapapun oleh kalangan manapun. Bahkan, jika anda adalah penikmat musik hingar bingar yang keras dan menyayat telinga. Anda juga masih bisa membuka celah untuk mulai menyukai David dan kolega.

Albumi ini cukup unik, semua artis yang berpartisipasi memberikan warna musiknya masing-masing. Mulai dari Pop, Rock, Electronic, Rock and Roll bahkan hingga Swing/Jazz sekalipun. Semua artis yang tampil seakan menjadi headline di album ini. Mereka bermain dengan sangat lepas tanpa menghilangkan esensi dari lagu lama Naif itu sendiri.

Saya cukup menyayangkan, mengapa lagu Possesif, Towal-Towel, Yts: Ibu, Uang, Johan dan Enny tak masuk kedalam kompilasi ini. Padahal lagu tersebut cukup membuat saya tersenyum sungging. Semoga saja akan ada tribute kedua untuk Naif dan para artis yang berkontribusi membawakan lagu-yang saya sebutkan tadi, semoga hal tersebut bisa terealisasi.

Tujuh tahun telah berlalu semenjak dirilisnya kompilasi bersejarah ini. Hingga hari ini, saya masih mendengarkan album ini secara penuh dengan tape tua saya yang sudah tak bisa diharapkan lagi kejernihan suaranya. Saya beruntung bisa memilikinya dan menjadi bagian dari sejarah perjalanan Naif. Naif sendiri juga masih memproduksi album studio hingga hari ini. Namun kini mereka lebih mengusung tema percintaan. Sebuah tema yang jarang diangkat Naif dalam karya-karyanya. Sudahlah, saya tak ingin membicarakan album terkini dari Naif.

Oh iya, mungkin saja tiga tahun lagi, album ini akan dirilis ulang dalam format Vynil. Bisa saja hal itu terjadi. mengingat kini budaya vynil tengah marak di kalangan sidesterm. Toh album ini memang layak untuk dikoleksi dalam format itu. Jika memang jadi dirilis dalam format vynil. Saya tentu tak bisa membelinya karena keterbatasan sumber daya keuangan sebagai mahasiswa tingkat akhir yang memprioritaskan membeli tinta printer dan kertas HVS demi selesainya tugas akhir.

Jelang City v Liverpool di Guinnes Cup: Misi balas dendam the Reds


Poster Match City v Liverpool


Esok pagi akan ada match yang bertemakan balas dendam, Liverpool akan menjamu Manchester City dalam lanjutan tur pra musim di ajang Guiness International Cup. Seperti yang kita tahu, Liverpool gagal menjadi juara liga Ingrris musim 2013/14 karena inkonsistensi menjelang akhir musim. Mereka kerap membuang-buang point saat menjamu Palace dan Chelsea. Bahkan pada match melawan Chelsea, Sang ikon Steven Gerrard malah memberikan assist kepada Demba Ba untuk kemudian membuat gol secara mudah ke gawang Simon Mignolet. Sloan #MakeUsDream yang dikampanyekan fans the Reds di seluruh dunia akan juaranya Liverpool harus dikubur dalam dalam.


Assist Steve G kepada Demba Ba


City paham betul kesempatan tak datang setiap saat. Saat Liverpool tampil seperti yoyo, skuad Pellegrini tampil menggila dengan memenangi setiap laga sisa di Liga. Alhasil, gelar juara liga tetap berada di kota Manchester, namun kali ini berada di sisi biru. Karena Manchester merah sendiri sedang mencoba menjadi tim medioker. Mereka mungkin bosan dengan status salah satu tim terbaik di dunia. David Moyes patut diacungi jempol atas keberhasilannya membawa Everton berada di atas Man United, itulah mimpi sang Gaffer sejak lama.

Kembali lagi ke persoalan jelang laga Liverpool kontra City. Sekalipun ini laga eksebisi, pasukan Brendan Rodgers tentu akan berusaha membalaskan dendam atas Manchester City. Kemenangan menjadi harga mati untuk Steven Gerrard dan kolega. The Anfield Gank sendiri sudah mempersiapkan diri dengan beberapa amunisi baru semacam Loovren, Lallana, Markovic dan Emre Can, kehilangan Luis Suarez bukanlah soal, Liverpool tetap tim yang patut untuk diwaspadai.

Sementara City sendiri tengah dalam kepercayaan diri tinggI. the Sky Blues berhasil melumat Ac Milan dengan skor cukup fantastis 5-1. Pellegrini sendiri cukup puas dengan performa timnya selama pramusim, suka atau tidak, City yang sekarang lebih menakutkan dari City musim lalu. Apalagi Stefan Jovetic dan Scott Sinclair tengah membuktikan keduanya pantas mendapatkan tempat di skuad utama. Musim lalu keduanya gagal mendapat menit bermain yang cukup di City. Jovetic sibuk berkutat pada cideranya sementara Sinclair harus menepi ke WBA demi jaminan bermain reguler.

Tensi pertandingan akan berjalan denga sengit. Selain aroma balas dendam yang diusung the Reds kepada City, isu pembajakan pemainpun menjadi bumbu lain dalam pertandingan nanti. Liverpool dikabarkan tengah meminati dua pemain City, Micah Richards dan James Milner. Khusus untuk Richards, B-Rod sendiri memang menginginkan Richards untuk berlabih ke Anfield. Rodgers mungkin ingin mengumpulkan lagi petarung-petarung tangguh di lini belakangnya. Kehadiran Skrtel dan Agger dinilai masih kurang membuat pertahanan Liverpool bak kumpulan bodyguard sebuah klub malam, Richards dinilai sebagai orang yang tepat untuk mengisi lini belakang tim yang sempat menjadi buah bibir di era 80an itu.

Suka atau tidak, Match City melawan Liverpool akan menjadi ajang terpanas dalam gelaran Guiness Cup kali ini. Liverpool sudah barang pasti akan memberikan City tamparan keras karena telah berani merengut gelar liga Inggris yang mereka dambakan dalam kurun 20 tahun terakhir. Sementara City sendiri akan membuktikan bahwa mereka jelas lebih baik daripada pengangguran-pengangguran di Merseyside.

Jumat, 25 Juli 2014

Sedikit tentang Pablo Zabaleta

The Fuckin Man
 
 
Ia hanya didatangkan dari Espanyol, tim Catalan yang selalu berada di bawah telapak kaki Barcelona. Harganya hanya sekitar 7 juta Euro, harga yang sangat kecil untuk standar pemain yang bergabung di skuad mahal the Eastlands. Namun seiring berjalanya waktu, ia berhasil membuktikan bahwa harga murah tak selalu menjadi alasan untuk bermain standar. Ia berhasil membuat Verdran Corluka angkat kaki dari Carrington dan membuat si anak asli akademi, Micah Richards harus bersandar melepas penat di bangku cadangan (walaupun sebenarnya Richards sendiri sering mengalami cidera kambuhan). Ia adalah salah satu pembelian berhasil dari Mark “fuckin” Hughes, pelatih yang terkenal sering menghambur-hamburkan uang saat menahkodai the Sky Blues.
Ia menjadi andalan fullback sisi kanan Manchester City di era kepemimpinan Hughes, Roberto Mancini, hingga Pellegrini. Inkomsistennya Micah Richards membuatnya menjadi prioritas pelatih-pelatih City yang saya sebutkan diatas untuk memasangnya sebagai Fullback penghalau serangan lawan. Kecepatannya mungkin tak sebanding dengan Dani Alves. Permainannya mungkin tak seindah Alvaro Arbeloa. Visi permainannya tak secanggih si legendaris Garry Neville. Namun, Zabaleta memiliki determinasi tinggi yang mungkin tak dimiliki ketiga orang yang saya sebut diatas.
Untuk seorang yang lahir di Argentina, sosoknya menjadi sebuah ambiguitas tersendiri. Kita semua tahu bahwa pemain asal negeri Diego Maradonna itu selalu tampil santun dan menawan kala bermain. Lihat saja sosok macam Javier Zanneti, Juan Riquelme, hingga Lionel Messi, semuanya adalah tipikal pemain Argentina “yang baik.” Sosok Zabaleta mungkin cenderung mengarah pada legenda Tanggo yang undetect macam Juan Pablo Sorin ataupun Diego Simeone yang kerap bermain brutal dan membuat lawan segan untuk mencari masalah dengan merek. Zabaleta sendiri lebih kepada steriotip orang Inggris yang cenderung brutal dan temperamental, tak jarang kita selalu melihat Zaba terkena kartu kuning di setiap pertandingan Manchester City. Itulah kelebihan Zabaleta daripada fullback sepakbola modern saat ini.
Pada Piala Dunia 2014 kemarin, Alejandro Sabella membuat sebuah kesalahan. Ia meminimalisir pergerakan offensive Zaba ke kotak pinalti lawan. Sabella lebih percaya kepada sosok Angel di Maria sebagai konduktor serangan Argentina dari zona sayap. Zabaleta tak bermain maksimal di Piala Dunia. Mungkin inilah salah satu penyebab terjungkalnya Argentina di Final (selain faktor Messi-sentrisme, tentunya).
Dan jendela transfer musim dingin dibuka. City telah memastikan kehadiran Bacary Sagna ke Etihad. Pola permainan Sagna dan Zaba sekilas mirip. Mereka juga menempati posisi yang sama. Keduanya sering melakukan overlap ke daerah pertahanan lawan. Namun saya tak pernah khawatir soal posisi Zaba. Ia mungkin akan terus menjaga sisi kanan City di musim 2014/15. Hanya cidera, akumulasi dan tuhan yang bisa menghentikan Zabaleta. Saya juga berani menjamin, Zaba akan pensiun bersama City dikemudian hari. Bahkan saya beharap, ialah kapten yang ideal untuk Manchester City. Ia mungkin hanya kalah populer dari Vincent Kompany dan Yaya Toure dalam hal pemilihan kapten.

Rabu, 16 Juli 2014

Agung dan kecintaannya terhadap sepakbola

Sore itu, Agung berjalan gontai menyusuri jalan setapak di seputaran Streetford. Ia harus menerima kenyataan tim kesayangannya kalah telak atas sang rival terberat dengan skor 0-3. Angung bukanlah tipikal orang yang senang atas kekalahan. Ia selalu ingin menang, dengan menang, ia bisa menaikan derajatnya yang terkucil di lingkungan kampus. Hampir setiap hari, Agung selalu memberikan dukungan kepada tim kesayangannya. Setiap detik ia memantau perkembangan timnya via Twitter dan jejaring sosial lainnya. Rasa cinta memang selalu membutakan. Bahkan, ia rela mengecat kamar rumahnya dengan warna  kostum tim kesayangannya. Tak peduli ayahnya selalu marah melihat tingkahnya. Agung cuek.

Agung masih meratapi kekalahan timnya. Tak berselang lama, bus yang ditumpangi sang rival lewat di depan mukannya yang kusut. Ia mengejarnya bak pemain pepsi man ataupun temple ruin. Ia berlari sekuat tenaga. Tak berapa lama, bus tersebut berhanti di lampu merah. Agung melempari bus tersebut dengan batu jalanan. Lemparannya mengakibatkan kaca bus pecah dan membuat pemain beserta official tim rival menjadi was-was dan shock. Agus kemudian mencoret kaca depan bus sang rival dengan pilox bertuliskan, “Ini kota kami. Anjing dilarang masuk.” Setelah puas menimpuki dan mencoret bus, Agung mengunggah aksi anarkinya ke jejaring sosial. Reputasinya merangkak naik setelah itu.

Ia menjadi disegani di lingkungan rumah, kampus, bahkan stadion. Bahkan orang-orang menjulukinya “Agung is Our Hero.” Karena keberaniannya membuat aksi anarkis seorang diri membuat malu tim rival di Streetford. Bahkan, wajah Agung  kini terpampang di stadion markas tim kesayangannya. Agung bak Che Guevara. Iapun lantas diangkat menjadi ketua umum supporter tim kesayangannya.

Ia menjadi amat disegani. Pengikut setianya bertambah banyak. Ia bak Tommy Hatcher dalam serial Green Street Hooligan, bahkan dalam versi lebih mengerikan. Ia tak segan memukuli siapapun yang menghina tim kesayangannya. Bahkan pernah suatu ketika ia membuat temannya sendiri terbaring koma di rumah sakit dikarenakan sang teman melecehkan tim kesayangannya di kampus.

Sampailah kepada pertemuan kedua tim tersebut bertanding. Laga kali ini diadakan di markas sang rival. Panitia pelaksana sebenarnya melarang supporter tamu untuk datang. Agung tetap nekat datang. Padahal rekanannya tak ada yang berani datang. Agung tak ciut. Ia malah memaki temannya yang tak berani datang ke kandang sang rival, “katanya lu Streetford  sampe mati? Ngomong doang lu. Liat nih gua bakal dateng ke kandang anjing-anjing itu. Lu mending potong titit kalo ga berani dateng kesana. Kalaupun emang harus mati, gua mati untuk Streetford.”

Ia telah sampai ke stadion. Ia tetap mengenakan seragam tim kesayangannya. Semua mata di stadion melihat kepadanya. Semua orang ingin memukulinya, mencabik dagingnya dan mengecingi wajahnya. Agung tetap tenang. Ia malah memaki supporter tim lawan, “Kok anjing boleh masuk ke stadion sih? Dasar kota sampah.” Tukasnya sambil menyulut rokok ke mulutnya.

Pertandingan berjalan sengit, Streetford ditekan sepanjang waktu. Pertahanan Streetford bak jalur Gaza yang sedang di bombardir pasukan Zion yang lapar akan darah. Agung masih tak percaya timnya diserang sedemikian rupa. Ia melongo seperti sedang melihat Luna Maya striptis di depan mukanya yang tampan. Sampai tiba akhirnya, Gonzalo, striker tim rival berhasil menciptakan gol via salto ala Tsubasa Ozora di menit 85. Agung marah semara-marahnya, ia memukuli supporter lawan disampingnya dengan brass knucle yang disematkan di jemarinya. Sang supporter lawan jatuh tak sadarkan diri. Namun Agung ditendang dari belakang, ia kecolongan. Ia tersungkur dibawah kaki supporter rival. Ia lantas mendapat puluhan pukulan dan tendangan di sekujur tubuhnya. Ia masih melakukan sedikir perlawanan. Namun apa daya, ia kalah jumlah. Anehnya polisi tak mencoba melerai aksi supporter rival. Oknum polisi seakan membiarkan Agung untuk mati di tempat.

Agung masih dipukuli, hingga tambahan waktu pertandingan diumumkan, ia masih dipukuli dengan deras. Kaos putihnya kini berubah menjadi merah akibat darah yang mengalir dari kepala dan tubuhnya. Ia sekarat, ia sulit bernafas, ia meraih pegangan untuk berdiri. Namun terlambat, sepatu Dr Marteens mendarat tepat di antara kedua matanya. Ia tersungkur.

Peluit tanda pertandingan selesai didengungkan. Sang rival menang 1-0 atas Streetford City. Supporter lawan bersorak. Agung berinang air mata, ia menangis sejadi-jadinya. Supporter rival meludahi wajahnya yang kini sudah tak berbentuk. Wajah tampannya kini bak pekedel di warung makan murahan. Sekali lagi, supporter rival kembali menginjak-nginjak kepalanya. Kali ini dengan sneaker Adidas. Agung tak bernafas lagi, ia tewas di kandang sang rival dengan kaos “Streetford till i die.” Seiring kematian Agung, sebuah lagu di dengungkan di stadion mengiringi kematian Agung. Koil –  Dan cinta kita terlupakan.

hello

hello hello hello welkom