Minggu, 03 April 2016

Repetoar Silampukau - Bermain di Cikini



30 & 31 Maret 2016
Teater Kecil

Taman Ismail Marzuki
Jakarta
Foto oleh: Yose Riandy


Repetoar
Pasca mengenal Silampukau pertengahan Februari lalu, rasa cinta muncul begitu saja. Cinta memang tak mengenal alasan apapun. Sejak saat itu, hampir setiap hari saya selalu mendengarkan album “Dosa, Kota dan Kenangan” milik duo kota Pahlawan ini melalui perangkat mp3 hasil unduhan gelap. Cita rasa musik folk yang dibalut dengan lirik bedasarkan perspektif personal tentang kehidupan kota Surabaya menjadi bumbu yang cukup sedap untuk diperdengarkan. Sebenarnya, apa yang disampaikan Silampukau tentang balada perkotaan bukan hal baru, Bangkutaman pernah menyampaikan hal mengenai yang sama mengenai kehidupan Jakarta pada album Ode Buat Kota beberapa tahun lalu. Yang membedakan dua moniker tersebut hanyalah pemilihan tema dan tempat, kehidupan di Jakarta dan Surabaya.
Mengunduh mp3, apalagi yang diunduh adalah musisi independen adalah dosa besar. Sebenarnya saya ingin memiliki cakram padat Silampukau. Namun apa daya, uang saku terlanjur habis untuk kepentingan kuliah dan melamar pekerjaan. Menurut seorang teman, mengapresiasi musik tidak melulu harus membeli rilisannya. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghargai apa yang dihasilkan. Untuk itu, satu-satunya cara agar menebus dosa saya adalah menonton pertunjukan live mereka. Semoga dosa ini terampuni, Gusti.
Kebetulan, pertengahan Maret lalu, Silampukau akan singgah di Jakarta. Mereka akan mentas di Music Gallery seri keenam. Namun harga tiket membuat saya ciut. Hal ini karena ada dua band luar, Panama dan Last Dinosaur tampil disana. Namun setelah mencari tahu seluk beluk kedua band tersebut, saya membatalkan menonton. Ketidaktahuan musik yang disuguhkan oleh para penampil serta tidak selera terhadap musik dua grup musik asing tersebut menjadi alasan sahih. Adalah bunuh diri yang tak artistik jika saya memaksakan hadir demi alasan eksistensi hadir di skena independen.
Kabar baik kembali tiba, Eki dan Kharis kembali akan hadir di Jakarta di penghujung Maret. Akhir bulan adalah hal terindah bagi siapapun, termasuk saya. Isi dompet lak lagi harus nelangsa. Berhubung waktunya tepat, saya mengajak dua orang teman untuk menonton pertunjukan musik Silampukau. Duo kepondang ini singgah kembali ke Ibukota dengan konser tunggal, “Bermain di Cikini.” Tiket dibandrol dengan harga seratus ribu per orang untuk satu hari pertunjukan.
Anjir mahal juga yak tiketnya, itu (pas nonton) dapet apaan aja?” Tutur seorang teman kepada saya. Pertanyaan ini membuat saya harus garuk-garuk kepala untuk menjawabnya. Pasalnya beberapa waktu lalu, ia hadir ke peluncuran album band Rock and Roll asal Jakarta dengan tiket “hanya” setengah harga dari harga yang ditetapkan penyelenggara “Silampukau - Bermain di Cikini.” Ia mendapatkan satu keping kaset tape beserta bir dingin. Hal ini tentu saja menjadi standar acuan menonton musik baginya. Jika seratus ribu tak mendapat apa-apa, ia tentu akan kecewa berat. Namun saya berhasil meyakinkannya untuk datang menonton.
Harga tiket seratus ribu untuk pertunjukan musik folk lokal adalah sebuah keniscayaan. Folk, sebagaimana digariskan adalah musik yang ditunjukan kepada kaum kelas menengah kebawah. Musik ini awalnya adalah komposisi yang diciptakan untuk mengusir kebosanan saat berutinitas. Namun pasca Stivell dan Dylan, semua berubah. Folk menemukan sisi komerisilnya melalui lirik perlawanan, protes dan aspek sosial sebagai nilai jual utamanya. Selain itu beberapa faktor yang menyebabkan harga tiket menjadi cukup “wah” bagi kalangan marjinal seperti saya adalah para hipster dan mahalnya sewa gedung di Jakarta.
 Hipster, sebagaimana digambarkan secara umum adalah orang yang memiliki pandangan yang berbeda dengan kebanyakan orang, atau lebih gampangnya disebut anti-mainsterm. Ya, Silampukau sendiri merupakan moniker yang bisa dibilang berbeda. Jika kebanyakan kelompok folk lokal masa kini memilih tema tentang hujan, sore hari, dan hangatnya senja. Mereka membawakan hal yang agak berbeda, yakni tentang kehidupan sosial di kota metropolitan. Selain itu, profil mereka juga terbilang lumayan tinggi. Rolling Stone Indonesia meletakan “Dosa, Kota dan Kenangan”  di posisi ketiga sebagai album Indonesia terbaik di tahun 2015, tepat dibawah “Teriakan Bocah” milik Kelompok Penerbang Roket (KPR) dan “Taifun” Barasuara. Maka, jika menonton pertunjukan Barasuara/KPR terlalu mainsterm, Silampukau adalah anti-tesis dari kedua band tersebut. Karena hipster sendiri merasa cenderung bersifat underdog. Ha.
Atas dasar underdog dan kepopuleran duo asal Surabaya ini (mungkin, sekali lagi, mungkin) membuat penyelanggara melaksanakan “Silampukau - Konser di Cikini” selama dua hari. Terlebih lagi, seluruh tiket yang berjumlah sekitar 400 lembar yang dipersiapkan untuk pertunjukan dua hari tersebut sold out. Hal ini merupakan pencapaian yang cukup spektakuler untuk sebuah konser tunggal musisi sidesterm yang tengah menanjak namanya.
Selain itu faktor hipster, mahalnya pertunjukan Silampukau bisa jadi didasari pemilihan venue acara. Sudah bukan rahasia umum jika mencari tempat pertunjukan musik yang memupuni di Jakarta merupakan barang langka. Jikapun ada, harga yang ditawarkan bisa dibilang lumayan. Seorang teman pernah berujar kepada saya, salah satu klien di kantornya kesulitan untuk mencari venue untuk menggelar sebuah event di Jakarta. Untuk mengakomodir kelancaran pertunjukan, sebuah gedung teater kelas premium di Cikini menjadi gelaran perdana Eki, Kharis dan kawan-kawan untuk konser tunggal perdananya di Jakarta. Hal ini juga bisa dijadikan alasan mengapa harga tiket duo kepondang ini menjadi cukup lumayan bagi pengangguran seperti saya. Ya sudahlah. Setidaknya portofolio menonton gelaran musik di tempat bagus saya bertambah ke arah yang lebih baik.
***
Saya bersama dua orang teman memilih untuk menonton di hari kedua. Tak ada alasan khusus untuk itu. Menuliskan permainan Silampukau di atas panggung adalah buang-buang waktu. Mereka tampil tanpa saat mengeksekusi setiap materi yang dibawakan. Saya hanya ingin membahas bagaimana keadaaan konser di lokasi.
Teater Kecil dipenuhi oleh riuh rendah manusia. Bisa dikatakan yang hadir disana merupakan golongan kelas menengah ke atas. Hampir semua orang nampak modis dengan busana semi premium. Mungkin hanya saya dan kedua teman yang kurang enak dipandang. Dari sisi manapun, kami kalah telak. Cara berpakaian, good looking, bau badan, segalanya. Untung saja harga tiket setara satu dengan yang lainnya. Jika tidak, bisa dipastikan kami selesai.
Keterlambatan seorang teman juga memaksa kami untuk duduk di balkon. Leher terasa sakit jika terus melihat pertunjukan yang letaknya di bawah. Penderitaan belum berakhir disitu, beberapa perempuan di kursi belakang memutuskan pindah ke depan untuk melihat lebih jelas penampilan di bawah. Dengan angkuhnya mereka menghalangi pandangan saya dan rekan-rekan. Wajah dan tubuh mereka menghalangi surga yang di depan mata. “(Bayar) cepe cuma buat liat komuk orang doang nih? Mana kaga dapet ape-ape !!!.” Gerutu seorang teman.
Setelah beberapa lagu, Silampukau memutuskan untuk memberi jeda. Para penonton berhamburan keluar Teater. Sesi merokok dan minum digelar tanpa dikomando. Si penghalang kami tadi juga melakukan hal yang sama. Saya dan seorag teman duduk di pelataran. Kami berbincang singkat sambil menghembuskan rokok, “Folk main di tempat kayak gini aneh ye.” Tuturnya kepada saya. Obrolan berlanjut dengan santainya. Seorang wanita di sebalah saya bicara kepada temannya, “Dari tadi gua ngga ngerti mereka (Silampukau) main apaan.”

1 komentar: